Dia salah satu sosok yang berjasa mendistribusikan pelbagai produk dari genre musik underground ke Kota Samarinda di era 2001; kaset tape, CD, VCD, t-shirt, stiker, pin, emblem, belt spike, hingga zine.
MENEMUKAN benda-benda di atas mungkin cukup mudah saat ini. Tapi coba bayangkan jika hal itu terjadi dalam rentang waktu ketika pilihan sangat terbatas. Terlebih ketika internet tak sepopuler sekarang.
Saat kebanyakan anak muda hanya memahami Disc Tarra sebagai satu-satunya tempat membeli kaset tape, CD, dan VCD, tentu sangat mengejutkan saat mengetahui bahwa barang-barang itu ternyata bisa dibeli di lapak pinggir jalan. Hal yang paling mengejutkan adalah produk-produk yang dijual justru antimainstream dan tidak beredar di tempat-tempat komersil, melainkan di komunitas-komunitas –dulu disebut– independen.
Mad Distro, adalah salah satu nama populer dikalangan skena musik underground lokal era 2000-an yang membuka ruang ketidakmungkinan itu. Tetapi, jangan bayangkan jika nama Mad Distro berarti sebuah lokasi berbelanja yang terletak di sebuah ruko atau space di dalam mal. Mad Distro adalah nickname sekaligus nama lapak yang dijalankan secara mandiri. Mad Distro menyediakan produk-produk tak terjangkau di masa itu. Seperti artinya, distro adalah distribution, Mad Distro mendistribusikan pengetahuan soal genre musik yang dulu minoritas itu kepada generasi muda era 2000-an.
DEKADE.ID mewawancarai Achmad Zulkarnaen a.k.a. Mad Lori a.k.a. Mad HC a.k.a. Mad Distro, beberapa waktu lalu mengenai pelbagai hal. Mulai soal distribusi barang-barang tersebut ke Kota Samarinda termasuk aktivitasnya di skena underground Kota Tepian, khususnya di skena musik hardcore/punk. Format Q (Question) and A (Answer) kami pilih agar pembaca lebih mudah memahami kisahnya.
Halo Mad, apa kabar?
Halo juga. Alhamdulillah baik, sehat walafiat, tak kurang suatu apapun. Semoga kalian semua juga sama. Amin.
Lagi sibuk apa sekarang?
Biasa rutinas bantu ortu, kerja diusahanya milik ortu.
Ditongkrongan, teman-teman lebih mengenalmu dengan nickname Mad Distro. Ceritain dong sejarah nama panggilan itu, kan kamu enggak punya distro. He-he…
Memang sih enggak punya distro. Tapi waktu itu kira-kira tahun 2001-an saya coba ngemper. Awalnya menawarkan ke teman-teman lewat hand to hand, baik di tongkrongan atau datang ke rumahnya sekalian. Saya bawa pakai tas. Kalau kaset disusun di kotak sandal atau sepatu Selain kaset tape, CD, VCD, saya juga bawa beberapa kaos band, emblem, stiker, pin, zine. Pada akhirnya, untuk memudahkan identitas nama distribusinya, saya pakai singkatan Mad Distro. Mad = Achmad, dan Distro = Distribution. Nama itu saya pakai setelah beberapa kali ngemper di tongkrongan dan gigs, baru tercetus ide nama itu. Saya sampai buat stikernya dan kasih nomor kontak di stiker itu. Lalu saya sebar. Sampai akhirnya teman-teman datang ke rumah saya langsung.
Ceritain dong pengalaman pertama kali ngemper, di mana dan kapan?
Waktu itu kira-kira tahun 2001-an. Awalnya ya tadi, bawa dagangan menawarkan ke teman-teman pakai cara hand to hand di tongkrongan atau ke rumahnya sekalian. Karena barang yang dibawa cukup banyak, saya mulai coba ngemper. Selain ngemper di tongkrongan parkiran Mal Lembuswana sama Billy (vokalis band grunge, BH Smile, Red.), kami juga beberapa kali ngemper di kampus Politeknik Samarinda Seberang, di depan kantinnya. Memang saya pernah dengar di situ banyak anak band pada kuliah, jadi kita coba jualan di sana. Pernah juga ngemper di trotoar jalan, di Jalan Pembangunan.
Dulu, t-shirt, kaset, CD, sampai merch hardcore/punk kan sulit didapat. Bisa ceritain darimana bisa mendapatkan barang-barang itu?
Awalnya kalau di Kalimantan Timur dari Dwin (Bandit Distro, Red.), skena di Balikpapan. Kebetulan waktu sering ke Balikpapan, saya sering mampir ke distronya yang ternyata dekat dengan tempat usaha ortu saya. Di sana ya beli merchandise band yang belum saya punya. Setelah beberapa kali ketemu, saya berkeinginan mencoba bantu memasarkan produk-produknya untuk saya jual di Samarinda. Akhirnya setuju. Saya dititipin beberapa barang, enggak banyak juga. Hanya kaset beberapa buah, stiker, emblem juga. Saya jual dari hand to hand, saya datangin rumah teman-teman, saya bawa juga ke tongkrongan di parkiran Mal Lembuswana. Lumayan laku dan akhirnya order barang berkelanjutan, terus kerja sama.
Bagaimana dengan proses bayarnya? Kalau barang-barang itu enggak laku bagaimana?
Sistemnya setor, bayarnya nanti kalau laku, dan bayarnya ketika saya ke Balikpapan. Nanti dilihat, yang susah lakunya dikembalikan lalu ditukar dengan barang lain. Jadi selalu ada yang baru.
Barang pertama apa yang dijual? Berapa harganya?
Kaset, stiker, dan emblem. Kalau masalah harga jual dibuat sama dengan harga di Balikpapan. Kalau kaset tape, CD, VCD, rata-rata 15 ribu. Stiker 2 ribu. Emblem yang paling murah 4 ribu.
Biasanya barang-barang apa saja yang diorder dan dijual?
Stiker dan emblem paling laku, karena mudah jualmya dan murah. Kalau kaset, sedikit agak susah. Dan yang paling susah kaos karena agak mahal.
Pas ngemper pernah ngutangin teman-teman enggak?
Pernah. Tapi jarang banget. Sistemnya dulu malah ada yang minta disimpan dulu barangnya biar enggak dijual ke lain karena belum ada duitnya.
Ngomong-ngomong, bagaimana proses mengenal genre musik hardcore/punk? Di zaman itu kan sumber literasi musik masih sangat sulit…
Dulu pas tinggal di Jakarta tahun 1996 sampai 2001, pas kuliah dan sempat nyambi kerja. Di tahun-tahun itu, kampus saya beberapa kali menggelar acara band. Beberapa diantara mereka ada mahasiswa dari kampus saya. Di acara itu juga ada bintang tamunya. Kadang dari Jakarta sendiri dan dari kota lain seperti Bandung. Ternyata selama acara enggak semua band yang tampil beraliran pop, rock, alternatif, atau new metal. Malah ada yang beraliran punk, hardcore, dan ska. Waktu itu genre ska sedang booming. Banyak dari band-band yang tampil di kampus saya dulu akhirnya sukses jadi artis dan sering muncul di televisi. Akhirnya saya mulai ketagihan nonton acara band. Mulai dari kampus, cafe, gelanggang olahraga, sampai nonton di gedung serbaguna. Yang awalnya cuma suka nonton band-band alternatif dan new metal, jadi suka dengan genre hardcore dan punk. Dari situ jadi sering juga ke toko-toko kaset di mal seperti di Blok M, emperan anak-anak punk di Blok M, maupun di acara band. Apalagi waktu itu beberapa radio di Jakarta juga sering memutar lagu cadas.
Band hardcore/punk pertama yang didengar apa?
Sebagian yang ada di toko kaset zaman itu. Seperti Rancid, Ramones, Sex Pistols, Madball, Dog Eat Dog, dan Biohazard. Selebihnya sih cari yang enggak pasaran, band lokal ataupun mancanegara.
Kan kamu dari Jakarta. Ketemu punker lokal seperti Johnny, Budi, dan Cambang (personel band street punk, Ca’adoet, Red.) dan bikin tongkrongan di parkiran Mal Lembuswana bagaimana ceritanya?
Ketika ayah meninggal 2001, saya pulang ke kembali Samarinda. Ternyata enggak balik lagi ke Jakarta selamanya. He-he. Waktu di Samarinda, saya lihat mereka (punker lokal, Red.) dari tahun 2000 sudah nyetreet. Lengkap dengan dandanan mohawk dan boot. Kalau enggak salah ketemu mereka di Jalan Dr Soetomo dan di sekitaran Mal Lembuswana. Itu ketika mereka tinggal di basecamp di Gang 3, Jalan Dr Soetomo. Jadi akhirnya sekira 2001 saya baru main ke tempat mereka.
Sejak kapan skena punk di Samarinda ada, terutama tongkrongan di parkiran Mal Lembuswana?
Kalau enggak salah 2001.
Kondisi skena waktu itu bagaimana? Seenggaknya di tahun pertama deh…
Awalnya tentu masih sedikit, tapi lambat laun terus berkembang. Paling banyak remaja sih yang datang, mungkin lagi cari jati diri. Berekspresi lewat punk, berkarya lewat musik. Dari dulu nongkrongnya memang dipusatkan di parkiran Mal Lembuswana. Posisinya dulu pas di dekat dua patung Lembuswana. Setelah itu tongkrongan bergeser ke depan, di dekat tiang reklame KFC. Terakhir bergeser di teras gerai Telkomsel. Karena dipakai untuk pakiran motor, jadi kurang asyik nongkrongnya. Kalau saya nongkrong sekalian ngemper.
Skena di Mal Lembuswana kenapa bubar?
Pendapat saya mungkin berbeda dengan yang lain. Menurut yang saya rasakan dan dengar, entah benar atau salah, mulai ada tuduhan kriminal ke teman-teman bahwa di parkiran Mal Lembuswana telah terjadi tindak pidana pencurian. Apalagi ketika ada kaca mobil yang pecah, teman-teman yang disalahin. Tapi memang pelakunya bukan dari kami. Belum lagi kalau ada teman-teman yang tertangkap bawa narkoba di parkir Mal Lembuswana, jadi mulai disoroti keberadaan kami di sana. Teman-teman yang mengamen dan nyetreet di lampu merah banyak dituduh menggores mobil pengendara. Apalagi mulai susah dibedakan mana anjal (anak jalanan, Red.) dan mana punker. Sekitaran Mal Lembuswana jadi terasa enggak Kondusif.
Kenapa dulu nongkrongnya cuma tiap malam minggu?
Malam minggu adalah waktu yang pas untuk nongkrong, kesempatan jalan-jalan malam mingguan ke luar rumah pokoknya. Teman-teman ada juga sekalian cuci mata di dalam mal, mampir ke toko kaset. Memang Sabtu sore sampai Minggu kebanyakan waktunya sangat luang. Dan gigs juga biasanya hari Minggu, dari pagi sampai malam. Dulu nongkrong seminggu sekali ketemu di parkiran Mal Lembuswana sudah cukup mengobati perasaan kangen ketemu teman-teman. Dari ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya lahir obrolan yang serius. Misalnya diskusi soal pergerakan kami seperti bikin gigs. Kami juga diskusi bagaimana mengkoordinir teman-teman di luar kota. Mulai dari penyebaran pamflet, pendaftaran band, dan nomor kontak mereka. Setelah itu ya evaluasi gigs dan kolektif di parkiran Mal Lembuswana. Sebenarnya teman-teman dari komunitas lain kadang mampir juga nongkrong di parkiran Mal Lembuswana. Entah dari skena yang berbeda sampai dari kota lain.
Setelah tongkrongan di Mal Lembuswana bubar, teman-teman sempat nongkrong di beberapa tempat. Mulai dari teras Mal SCP, sekitar Stadion GOR Segiri di depan rumahmu, lalu terakhir pindah ke Wartel Sumangat di Jalan Agus Salim. Ceritanya gimana tuh?
Setelah dari parkiran Mal Lembuswana, teman-teman memang ada yang nongkrong di teras Mal SCP. Tapi saya sempat dengar kalau di sana juga enggak bertahan lama, karena ada pertikaian dengan security dan preman setempat. Waktu itu saya memilih ngemper sama Billy di trotoar Jalan Pembangunan. Di sana juga enggak bertahan lama sebenarnya, karena Billy sedang ada kesibukan lain. Jadi saya enggak ada teman ngemper. Apalagi di situ juga jualan kurang laku. Belum lagi kalau gerimis, pasti bubar. Di Jalan Pembangunan sebenarnya ada juga emperan lain dari teman-teman skena metal dan jadi lokasi tongkrongan mereka. Akhirnya, saya sama teman-teman yang dulu nongkrong di parkiran Mal Lembuswana, memutuskan bikin kolektif di depan teras rumah saya. Nama kolektifnya PunkShit. Nama itu diilhami dari warung mie pangsit yang jualan di depan rumah saya. Tempat nongkrong ini juga enggak bertahan lama, karena saya sudah fokus bantu ortu di Jalan Agus Salim. Jadi teman-teman memutuskan pindah tongkrongan di Jalan Agus Salim juga. Setelah sekian lama, bubar juga. Penyebab awalnya karena sering ada sweeping dan razia dari aparat terhadap anak-anak motoran yang sering nongkrong di pinggir Jalan Agus Salim. Sialnya, teman-teman kena razia saat nongkrong. Setelah insiden itu, enggak ada lagi teman-teman yang nongkrong di Jalan Agus Salim. Akhirnya jalan masing-masing. Ada yang nongkrong di Air Hitam, ada yang fokus bikin gigs dan buat kolektif baru.
Setelah semua tongkrongan bubar, lalu bagaimana nasib barang-barang emperan kamu?
Sempat masih saya usahakan dijual, tapi memang enggak selaris dulu. Lebih susah penjualannya. Alhamdulillah dulu sempat sebar flyer, stiker, dan info lapak jualan saya ke mana-mana, jadi teman-teman langsung ke rumah saya. Di rumah saya yang terletak di sekitar stadion timur GOR Segiri, saya buat ruang kerja khusus untuk terima teman-teman yang lagi cari barang-barang underground. Waktu itu saya juga melayani pesanan Mp3 dan video dalam format burn ke CD, DVD, dan copy ke kaset tape untuk genre underground. Saya juga buat VCD kompilasi dari koleksi yang saya punya. Sempat saya titip ke distro dekat rumah, dan lumayan laku. (bersambung)
Literasi:
– Zine dalam kultur hardcore/punk merupakan media publikasi nonresmi yang dibuat secara mandiri oleh satu orang –bahkan lebih. Zine sendiri berisi pelbagai macam tema mulai dari opini, wawancara, review, rekomendasi, dan lain-lain yang berhubungan atau bersinggungan dengan hardcore/punk. Zine kemudian difotokopi dan disebarluaskan secara gratis –meski ada yang menjual, harganya sangat murah. Zine hanyalah salah satu produk media dari kultur hardcore/punk selain fanzine dan newsletter.
– Ngemper atau mengemper adalah istilah lain dari membuka lapak jualan. Dalam kultur hardcore/punk lokal, ngemper bisa dilakukan di mana saja. Seperti di trotoar, halte, saat gigs, atau tempat-tempat lain.